“I am hopelessly in love with a memory. An echo from another time,
another place.”
— Michael Faudet
Bola itu melambung tinggi kearah
langit yang berpendarkan warna oranye dan menghasilkan home run yang
indah. Setelah sepersekian detik memperhatikan bola yang berhasil dipukulnya,
dengan cepat perempuan itu berlari dengan kencang menuju base pertama
sampai kembali lagi ke home base. Ia berhasil membalikkan keunggulan
setelah berhasil membuat tiga runner back home –termasuk dirinya- dengan
mulus.
Tim softball Aurora Borealis yang dipimpin perempuan
berambut panjang bergelombang itupun berhasil masuk ke final kejuaraan softball
provinsi Jakarta. Euforia kemenangan begitu terasa didalam tim Aurora.
Para anggota tim bersorak-sorak kegirangan sambil memeluk satu sama lain. Ada
yang menangis haru, ada yang bersorak, semua melebur menjadi satu.
Seorang perempuan berambut pendek masih lengkap dengan
keringat yang bercucuran, “Lea, kita berhasil maju ke final!” Ujarnya sambil
berjalan memeluk kapten timnya itu.
Perempuan yang dipanggil Lea -yang berhasil mencetak homerun
disaat terakhir- balas memeluk perempuan itu sambil tersenyum penuh
kebahagiaan.
“Kamu memang hebat kapten!” Seorang perempuan dengan rambut
kuncir kuda memeluk Lea dari belakang.
Lea berusaha untuk dapat merangkul kedua anggota timnya. Ia
merasa begitu bahagia berhasil mengantarkan timnya menuju final kejuaraan yang
mereka impikan sejak dulu. Sebuah tim yang ia bentuk dengan susah payah,
akhirnya dapat menunjukkan taringnya ke semua orang yang selalu meremehkannya.
Setelah beberapa lama melakukan selebrasi, Lea berjalan masuk
ke bench yang cukup sepi karena tidak ada orang. Meninggalkan anggota
timnya yang lain yang masih hanyut dengan suasana kemenangan. Ia mengambil
handuk yang telah tersedia dan duduk di bagian pojok bench. Lea
mengusapkan handuk ke wajahnya. Ekor mata kanannya melihat seseorang yang baru
saja masuk. Lea pun menoleh. Senyumnya kembali merekah ketika ia melihat
seorang laki-laki bertubuh tinggi berjalan ke arahnya. Lea meletakkan
handuknya, kemudian berdiri. Laki-laki itupun langsung memeluknya.
“Selamat ya. Kamu memang hebat.” Ujar laki-laki itu sambil
mengelus rambut Lea dengan sayang.
Lea hanya tersenyum di bahu laki-laki
itu.
Mereka saling melepas pelukannya.
Laki-laki itu menatap sambil mengelus pipi Lea dengan lembut,
“Tim kita harus sama-sama menjadi juara.” Katanya yakin.
Lea mengangguk sambil menatap mata orang yang sangat
dicintainya itu.
***
Dimas menaruh kedua tangannya ke dalam saku celana
abu-abunya. Meskipun beberapa pasang mata menatap ke arahnya, pandangannya
tetap lurus kedepan tanpa memedulikan sekitarnya. Langkah kakinya mengikuti
langkah kaki Bu Marlina yang menuntunnya menuju kelas baru yang akan
ditempatinya selama satu tahun terakhir masa SMAnya, di SMA Gelora Bangsa. Tak
beberapa lama, merekapun sampai di kelas.
Suasana kelas XII IPA 6 yang berisi tiga puluh lima siswa
begitu gaduh melihat seorang murid baru yang masuk ke kelas mereka.
Kelas yang cukup nyaman pikir Dimas. Terdapat dua air
conditioner yang terdapat di sisi kanan dan kiri kelas. Kelas yang bercat
dinding berwarna baby blue ini terasa sejuk dengan gorden berwarna navy
blue yang menghiasi jendela-jendela kelas. Terdapat jarak sekitar tiga
setengah meter antara meja guru dengan bangku murid paling depan. Di jarak itu
lah terdapat majalah dinding dengan berbagai tulisan dan pengumuman tertempel
dengan rapi di sisi kiri tembok. Meja dan kursi kayu yang menjadi bangku mereka
terlihat begitu terawat dan bersih dari coret-coretan yang biasa ditemui di
meja sekolah pada umumnya. Konon katanya, SMA Gelora Bangsa adalah sekolah
paling bersih nomor satu tingkat nasional. Sekolah ini juga terkenal ketat
dalam mengatur peraturan kebersihan sekolah.
Semua siswa kelas XII IPA6 memperhatikan laki-laki yang
mereka kenal sebagai murid baru. Seorang laki-laki berbadan tinggi namun
sedikit membungkuk. Terlihat tidak percaya diri dengan tinggi badannya yang
termasuk jangkung untuk anak seusianya. Rambutnya ikal berpotongan cepak.
Bajunya sedikit compang-camping dengan kemeja yang kusut dimasukkan sekenanya
ke dalam celana. Raut wajahnya terkesan dingin dan tidak ramah.
“Anak-anak, harap diam.” Ujar Bu Marlina selaku wali kelas
mereka.
Suasana yang semula gaduh
berangsur-angsur menjadi hening. Semua mata tertuju pada murid baru yang tampak
acuh dengan kelas barunya itu. Entah bagaimana, mereka merasa ini adalah salah
satu kesempatan untuk keluar dari kejenuhan setelah berbulan-bulan mereka
bergelut dengan tugas dan ujian.
“Mulai hari ini, kalian mendapatkan seorang teman baru,” Bu
Marlina mempersilahkan murid itu untuk maju memperkenalkan dirinya, “Silakan
kamu memperkenalkan diri,”
Laki-laki itu tampak menghela nafas panjang, “Nama gue
Ardimas Mahardhika. Panggil aja Dimas,” Ujarnya cuek.
Suasana kembali gaduh.
“Udah punya pacar belum?” celetuk seorang siswi sambil
memainkan rambutnya dengan genit. Suara gelak tawa terdengar seantero kelas.
Dimas hanya menatap dingin perempuan itu, “Penting?” Tanyanya singkat.
Suasana menjadi hening dalam sekejap. Semua murid-murid
terkejut dengan jawaban Dimas. Biasanya murid baru akan malu-malu ataupun
sungkan saat masuk ke sekolah baru, eh ini malah dingin banget. Sinis pula.
Siapa coba yang tidak jadi antipati.
“Dimas, ada yang ingin kamu sampaikan kepada teman-teman baru
kamu?” Tanya Bu Marlina.
“Tidak ada.” Jawab Dimas pendek.
Suasana kembali hening. Semua siswa langsung memandang Dimas
dengan pandangan antipati.
“Masih murid baru aja belagu!” Celetuk seorang siswa yang
duduk di bangku pojok.
Dimas hanya mendengus.
“Ya sudah, silakan kamu duduk di bangku yang masih kosong,” Ujar
Bu Marlina.
Dengan cepat, Dimas mengambil duduk
di bangku di baris kedua yang memang hanya ada seorang siswa yang duduk
sendirian. Ia meletakkan tas dan duduk di kursinya. Siswa yang telah menjadi 'penghuni
lama‘ bangku itu menoleh ke arahnya dan mencoba tersenyum.
Dimas yang melihatnya hanya tersenyum simpul dan sedetik
kemudian kembali memasang wajah dingin. Bikin keki orang yang melihatnya.
***
Sesaat setelah bel istirahat berbunyi, Dimas hanya memandang
aneh gadis didepannya. Gadis berambut panjang bergelombang warna merah
kecoklatan itu tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang rapi. Jepit rambut
mawar putih yang sederhana terlihat begitu menawan tergantung di sisi kanan
rambutnya. Pipinya yang begitu mulus tampak merona merah alami. Bibirnya yang
tipis terpoles lipgloss berwarna pink. Kemeja putihnya terlihat
begitu halus dan rapi. Dimas dapat mencium harum yang begitu manis dari tubuh
gadis itu.
“Kenalin, namaku Lea. Eleanora Victoria. Kamu Dimas kan?” Tanya
Lea sambil menyodorkan tangannya.
Dimas hanya menatap tangan Lea tanpa menyentuhnya. “Iya. Gue
Dimas.” Katanya dingin. Ia kembali berkutat dengan novel usang Stephen King
berjudul Rita Hayworth and Shawshank Redemption yang sedari tadi
dibacanya.
Lea menarik tangannya dengan perasaan canggung.
Dimas dapat merasakan pandangan teman-teman sekelasnya menuju
ke arah mereka berdua. Meski ia terlihat membaca novel, pikiran Dimas tetap
melayang. Mimpi apa ia tadi malam. Baru saja masuk ke sekolah baru, tiba-tiba
ada seorang gadis berkulit putih dan berparas cantik mengajaknya berkenalan
duluan.
“Lea, ke kantin yuk! Gue udah laper nih,” Panggil Risa, teman
sebangku Lea membuyarkan pikiran Dimas.
“Kamu mau ikut?” Tawar Lea kepada Dimas.
Teman-teman yang masih berada di
dalam kelas semakin memandang aneh ke arah Dimas. Bisikan-bisikan mulai terdengar.
“Lea gapapa tuh?”
“Lagi sakit kali tuh anak!”
“Kok bisa-bisanya sih idola sekolah kita ngajakin cowok
duluan? Anak baru lagi. Masih juga gantengan gue!”
Bisikan-bisikan itu membuat telinga Dimas makin panas.
“Nggak.” Jawab Dimas pendek tanpa memalingkan pandangan dari
novelnya.
Lea menghela nafas namun tetap tersenyum, “Ya udah, kalo gitu
duluan ya.” Ujar Lea. Kemudian ia berbalik badan. Rambutnya yang berkilau
berkibas dengan indah. Lea lalu berjalan menyusul Risa yang sudah menunggunya
didepan pintu kelas.
Meskipun menjawab begitu, setelah Lea berbalik badan,
diam-diam tatapan mata Dimas mengikuti kemana Lea berjalan hingga sosoknya
menghilang dibalik pintu.
“Hey, bro. Merhatiin Lea, ya?” Ujar teman sebangku Dimas
membuyarkan tatapannya.
Dimas menoleh, “Ah, enggak kok.” Elaknya.
“Lea emang cantik banget. Wajahnya itu loh, nyenengin.”Lanjutnya
tanpa memperhatikan ekspresi Dimas. Laki-laki disebelahnya itu tersenyum sambil
menyodorkan tangannya, “Kenalin, gue Ade.”
Dimas mengamit tangan Ade, “Dimas,”
“Lo nggak ngerti betapa beruntungnya lo yak. Gitu-gitu Lea
tuh primadona di sekolah ini. Gue aja yang sekelas sama dia dari kelas satu aja
gak pernah ditawarin ke kantin bareng. Gue iri sama lo.” Kata Ade setelah
melepas tangannya.
“Primadona gimana?”
“Dia tuh udah cantik, ramah, jago
olahraga, pinter lagi. Yah, meskipun jarang mau kasi contekan sih kalo pas
ulangan. Tapi kalo lo minta ajarin gitu pasti dia mau kok,”
Dimas cuman manggut-manggut mendengarnya.
“Terus, dia juga gak pandang bulu kalo nolongin temen.
Padahal keluarganya tajir banget. Pernah tuh, band gue kepepet butuh vokalis
buat tampil di event sekolah gara-gara vokalis gue mendadak sakit. Eh, dia mau
gantiin jadi vokalis. Mana suaranya merdu banget. Itu anak bener-bener cakep luar
dalem.” Celoteh Ade. “Makanya, lo jangan jutek-jutek ke dia. Karena bakal banyak
cowok-cowok yang gak terima, lantaran Lea tuh banyak banget yang ngincer, tapi
sampe sekarang dia selalu cuek-cuek aja,” Ade sambil terbahak.
Dimas yang mendengarnya hanya tersenyum cerita Ade yang
seolah Lea adalah yang maha sempurna. Meski begitu, Dimas masih terus
memikirkan sesuatu yang ia pertanyakan sejak kejadian barusan.
***
“Hellooo, anybody’s there?” Tanya Risa
sambil melambaikan tangan didepan wajah Lea.
Kata-kata
Risa membuyarkan lamunan Lea yang sedaritadi hanya mengaduk-ngaduk bakso untuk
makan siangnya.Nafsu makannya hilang entah kemana.
Lea
mengangkat wajahnya.
Perempuan berambut cepak itu
menatap mata Lea yang ada dihadapannya, “Jadi sedaritadi gue cerita, nggak ada
yang lo dengerin?” Tanya
Risa dengan sedikit nada sebal.
Lea
hanya nyengir, “Hehehe, sori sori, Ris. Aku masih kepikiran.”
“Yah,
elooooo,” Risa pura-pura mendengus kesal.
“Sori-soriii,”
Ujar Lea dengan wajah menyesal.
Risa
menyendokkan gado-gado ke dalam mulutnya.
Ia mengunyah sebentar, “Dia itu… Cowok yang lo maksud?”
Lea
menarik nafas panjang dan mengangguk pelan. Raut wajahnya menjadi
sedih.
Risa
menghela nafas dan mengusap pundak sahabatnya itu, “Gue yakin lo pasti bisa
kok.”
Lea
menoleh kearah Lisa kemudian tersenyum, “Makasih, Ris.”
“Lo
yang sabar ya, Le. Gue nggak bisa bayangin kalo jadi lo…”
***
Lea mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Badannya
merasa begitu segar setelah berendam di bathup. Ia melipatkan handuk di
rambutnya sambil berjalan menuju ruang makan. Lea mengambil gelas dan membuka
kulkas. Kemudian ia mengambil sebotol susu sapi murni dari kulkas dan
menuangkannya. Ia pun berjalan menaiki tangga dan menuju kamarnya di lantai
dua.
Lea memasuki kamarnya dan duduk di kasur. Ia meneguk susu
dengan nikmatnya. Meminum segelas susu setelah mandi sore adalah kebiasaannya
sejak kecil. Segelas susu itu habis dalam beberapa tegukan. Kemudian ia
meletakkan gelasnya diatas meja belajarnya yang terletak di sisi kiri kamarnya.
Ia menatap sebuah pigora foto yang terpajang disudut meja
belajarnya. Sebuah foto dirinya dan seorang laki-laki memakai seragam latihan softball
sedang duduk disebuah lapangan lengkap dengan bat dan juga glove.
Mereka tersenyum penuh kebahagiaan. Laki-laki itu merangkul pundak Lea,
sedangkan Lea bersandar di leher laki-laki itu.
Lea kemudian mengambil pigora
berwarna coklat tua yang penuh dengan ukiran itu. Pandangan matanya mulai
buram. Butiran-butiran air mata mulai mengalir di kedua sisi wajahnya. Ia
mendekap pigura itu didadanya.
“Aku merindukanmu…”
I picture your photographs
I'm dying here
I don't know why
I picture the pose you held
The blush you felt
But I won't ask why
I picture you somewhere else
The story ends
But I don't know how
If only the timing had been right
Marble Sounds — Photographs